SELAMAT DATANG DI SITUS SAYA

5.03.2009

Jual Beli Murabahah, Salam, Istishna’ dan Sharf

Jual Beli

Murabahah, Salam, Istishna’ dan Sharf


1. PENDAHULUAN

Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah, salam dan istishna’.


Pada makalah ini akan dibahas ketiga jenis jual-beli tersebut. Sebagai tambahan, akan dibahas juga jual-beli sharf. Namun sebelum membahas lebih detil, akan dijelaskan dulu landasan kebolehan jual beli secara kredit dan perkembangan akad jual beli di perbankan syariah Indonesia secara umum.



Landasan Syariah Jual Beli dan Jual Beli Kredit


Allah telah berfirman dalam Al-Quran,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah 2:275).


Firman tersebut menjadi dalil bagi kebolehan jual beli secara umum.


Selain itu, para ulama telah membolehkan jual beli secara kredit, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Syaikh Al Jibrin dan lainnya. Namun kebolehan jual beli ini menurut para ulama yang memperbolehkannya harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil berikut yang bisa diklasifikasikan menjadi beberapa bagian;

1. Pertama, Dalil-dalil yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda.

1. Firman Allah Ta'ala

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (QS. Al Baqarah: 282).


Ibnu Abbas menjelaskan, "Ayat ini diturunkan berkaitan dengan jual beli As Salam saja."


Imam Al Qurthubi menerangkan,

"Artinya, kebiasaan masyarakat Madinah melakukan jual beli salam adalah penyebab turunnya ayat ini, namun kemudian ayat ini berlaku untuk segala bentuk pinjam meminjam berdasarkan ijma' ulama" (Tafsir Al Qurthubi 3/243).



2. Hadits Rasulullah

Dari Aisyah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah rnembeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda. Beliau memberikan baju besi beliau kepada orang tersebut sebagai gadai” (HR. Bukhari 2068, Muslim 1603).


Hadits ini tegas bahwa Rasululah mendapatkan barang kontan namun pembayarannya tertunda.

2. Kedua, Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya memberikan tambahan harga karena penundaan pembayaran atau karena penyicilan.

1. Firman Allah Ta'ala

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling mernakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jaian perniagaan yang berlaku dengan suka sarna suka diantara kamu” (Q.S. An Nisa': 29).


Keumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit, maka selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk dalam apa yang diperbolehkan dalam ayat ini.


2. Hadits Rasulullah

Dari Abdullah bin Abbas berkata,

Rasulullah datang ke kota Madinah, dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan dengan cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau bersabda,

"Barangsiapa yang jual beli salam maka hendaklah dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas" (HR. Bukhari 2241, Muslim 1604).


Pengambilan dalil dari hadits ini, bahwa Rasulullah membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan timbangan serta waktu pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam uang untuk membeli itu lebih sedikit daripada kalau beli langsung ada barangnya. Maka begitu pula dengan jual beli kredit yang merupakan kebalikannya yaitu barang dahulu dan uang belakangan meskipun lebih banyak dari harga kontan..


Hadits Bariroh. Dari Aisyah berkata,

Sesungguhnya Bariroh datang kepadanya minta tolong untuk pelunasan tebusannya, sedangkan dia belum membayar sama sekali, maka Aisyah berkata padanya, “Pulanglah ke keluargamu, kalau mereka ingin saya membayar tebusanmu namun wala'mu menjadi milikku maka akan saya lakukan.'' Maka Bariroh menyebutkan hal ini pada mereka, namun mereka enggan melakukannya, malah mereka berkata, ''Kalau Aisyah berkehendak untuk membebaskanmu dengan hanya mengharapkan pahala saja, maka bisa saja dia lakukan, namun wala'mu tetap pada kami.' Maka Aisyah pun menyebutkan hal ini paa Rasulullah dan beliaupun bersabda,''Belilah dia dan merdekakanlah karena wala' itu kepunyaan yang memerdekakan .''




Dalam sebuah riwayat yang lain “Bariroh berkata,

''Saya menebus diriku dengan membayar 9 Uqiyah, setiap tahun saya membayar satu uqiyah.'' (HR. Bukhari 2169, Muslim 1504).


Segi pengambilan dalil, dalam hadits ini jelas bahwa Bariroh membayarnya dengan mengkredit karena dia membayar sembilan uqiyah yang dibayar selama sembilan tahun, satu tahunnya sebanyak sebanyak satu uqiyah.


3. Dalil Ijma'

Sebagian ulama mengklaim bahwa dibolehkannya jual beli dengan kredit dengan perbedaan harga adalah kesepakatan para ulama. Di antara mereka adalah ;

1. Syaikh Bin Baaz

Saat menjawab pertanyaan tentang hukum menjual karung gula dan sejenisnya seharga 150 Real secara kredit, yang nilainya sama dengan 100 Real tunai, maka beliau menjawab,

"Transaksi seperti ini boleh-boleh saja karena jual beli kontan tidak sama dengan jual beli berjangka. Kaum muslimin sudah terbiasa melakukannya sehingga menjadi Ijma' dari mereka atas diperbolehkannya jual beli seperti itu. Sebagian ulama memang berpendapat aneh dengan melarang penambahan harga karena pembayaran berjangka, mereka mengira bahwa itu termasuk riba. Pendapat ini tidak ada dasarnya, karena transaksi seperti itu tidak mengandung riba sedikitpun." (Ahkamul Fiqh, Syaikh Abduloh Al Jarulloh, hal: 57- 58).


2. Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin.

Beliau berkata dalam Al Mudayanah hal. 4, "Macam- macam hutang piutang;


o Seseorang membutuhkan untuk membeli barang namun dia tidak mempunyai uang kontan, maka dia membelinya dengan pembayaran tertunda dalam tempo tertentu namun dengan adanya tambahan harga dari harga kontan. Ini diperbolehkan.

Misalnya: Seseorang membeli rumah untuk ditempati atau untuk disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana seandainya dijual kontan akan seharga 9.000 real, atau seseorang .membeli mobil baik untuk dipakai sendiri atau disewakan seharga 10.000 real sampai tahun depan, yang mana harga kontannya adalah 9.000 real.


Masalah ini tercakup dalam firman Alloh Ta'ala,

Wahai orang-orang yang beriman, apabita kalian berhutang piutang sampai waktu tertentu, maka catatlah” (QS. Al Baqarah: 282).


o Seseorang membeli barang dengan pembayaran tertunda sampai waktu tertentu dengan tujuan untuk memperdagangkannya.

Misal seseorang membeli gandum dengan pembayaran tertunda dan lebih banyak dari harga kontan untuk menjualnya lagi ke luar negeri atau untuk menunggu naiknya harga atau lainnya, maka ini diperbolehkan karena juga tercakup dalam ayat terdahulu. Dan telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang dua bentuk ini adalah diperbolehkan berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan kesepakatan ulama." (Majmu' Fatawa 29/498-499).



Syaikh Utsaimin berkata selanjutnya,

"Tidak dibedakan apakah pembayaran tertunda ini dilakukan sekaligus ataukah dengan cara mengangsur. Semacam kalau penjual berkata, "Saya jual barang ini kepadamu dan engkau bayar setiap bulan sekian …" (Al Mudayanah hal: 5).



4. Dalil Qiyas

Sebagaimana yang telah lewat bahwasannya jual beli kredit ini dikiaskan dengan jual beli salam yang dengan tegas diperbolehkan Rasululah karena ada persamaan, yaitu sama-sama tertunda. Hanya saja jual beli salam barangnya yang tertunda, sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga dalam jual beli salam tidak sama dengan harga kontan seperti kredit juga hanya bedanya salam lebih nurah sedangkan kredit lebih mahal.

5. Dalil Maslahat

Jual beli kedit ini mengandung maslahat baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Karena pembeli bisa mengambil keuntungan dengan ringannya pembayaran karena bisa diangsur dalam jangka waktu tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan dengan naiknya harga, dan ini tidak bertentangan dengan tujuan syariat yang memang didasarkan pada kemaslahatan umat.


Berkata Syaikh Bin Baz disela-sela jawaban beliau mengenai jual beli kredit,

"Karena seorang pedagang yang menjual barangnya secara berjangka pembayarannya setuju dengan cara tersebut sebab ia akan mendapatkan tambahan harga dengan penundaan tersebut. Sementara pembeli senang karena pembayarannya diperlambat dan karena ia tidak mampu mambayar kontan, sehingga keduanya mendapatkan keuntungan." (Ahkamul Ba'i, Syaikh Jarulloh, hal. 58).



Akad Jual Beli di Perbankan Syariah


Data statistik yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) mengenai laporan perkembangan perbankan syariah tahun 2004 menunjukkan sekitar 66,3 persen pembiayaan syariah menggunakan akad jual-beli. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maulana Ibrahim Kendati mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 71,5 persen, hal itu bukan berarti peminat pembiayaan murabahah menurun. Hal ini justru menunjukkan, bahwa produk perbankan syariah lainnya juga sangat diminati.


Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amin mengungkapkan, masih besarnya peminat perbankan syariah produk pembiayaan murabahah menunjukkan bahwa produk dengan akad jual beli dengan sistem bagi hasil ini diminati oleh nasabah perbankan syariah karena dinilai memiliki resiko yang paling kecil. Sebab pembiayaan dengan sistem murabahah ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas dan keamanannya juga jelas. Karena itu, wajar kalau produk pembiayaan murabahah ini masih banyak diminati.


Begitu besarnya peminat produk murabahah ini, bukan berarti produk perbankan syariah lainnya dianggap tidak menguntungkan. Menurut Kyai Ma'ruf, hal itu disebabkan produk pertama yang ditawarkan oleh perbankan syariah adalah produk pembiayaan jual-beli. Dan hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mengenal karakteristik calon nasabah perbankan syariah. Produk lainnya seperti mudharabah (jenis pembiayaan bagi hasil dengan kesepakatan antara bank sebagai penyedia modal dan nasabah sebagai pengelola) dan musyarakah (kerja sama) juga makin banyak peminatnya.


Data statistik Bank Indonesia (BI) menunjukan bahwa kedua produk perbankan syariah ini -- (musyarakah dan mudharabah) -- meningkat cukup tajam. Pertumbuhan pembiayaan berbasis bagi hasil yang terdiri atas pembiayaan mudharabah dan musyarakah ternyata melebihi pembiayaan berbasis jual-beli (murabahah) sehingga per November 2004 pangsa pasar pembiayaan bagi hasil tersebut mencapai 28,3 persen dibandingkan posisi tahun 2003 yang baru mencapai 19,9 persen.


Beberapa faktor yang diperkirakan mempengaruhi peningkatan pangsa pembiayaan bagi hasil tersebut adalah meningkatnya kerja sama bank syariah dengan lembaga keuangan non-bank seperti koperasi dan pegadaian, serta adanya proyek-proyek jangka pendek infrastruktur dan public service (pelayanan umum).


Maulana menyebutkan, secara umum pembiayaan perbankan syariah berjalan sangat bagus. Hal itu bisa dilihat dari tingkat Non-Peforming Fiancing (NPF) (pembiayaan bermasalah). NPF perbankan syariah per November 2004 hanya 2,8 persen, atau turun dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,4 persen. Dengan pertumbuhan pembiayaan baru yang lebih tinggi dibandingkan penurunan kualitas sebagian aset, penurunan NPF tersebut mencerminkan kualitas pengelolaan perbankan syariah cukup baik.



2. JUAL BELI MURABAHAH

Pengertian Murabahah

Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tembahan keuntungan yang disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah, murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.


Dalam murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan. Dalam al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-syira . Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati beberapa keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut beada di tangan pemesan



Landasan Syariah Murabahah


Al-Quran

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah 2:275).


Al-Hadits

Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah).


Operasional Murabahah

Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan kesepakatan bersama.


Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan adalah barang (motor, mobil, dll), bukan uang, dan pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan pembiayaan konsumen.


Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai dengan masa pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkankan mengubah harga yang telah diperjanjikan/ diakadkan. Pada lembaga keuangan konvensional, dimungkinkan membuat sebuah klausul untuk meningkatkan bunga seperti karena akibat ketergantungan pada situasi pasar, krisis BBM, dan krisis nilai tukar. Keunggulan dari sebuah produk jual beli murabahah adalah memberikan kepastian dan kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran pembiayaan.


Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen, nasabah diberi uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian.


Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah, utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga.


Apabila kita sebagai nasabah suatu bank syariah ingin mengajukan pembiayaan murabahah untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

  • Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank syariah.

  • Jika bank syariah menerima permohonan tersebut, bank harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. Bank membeli barang keperluan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Dalam hal ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. Dimungkinkan bagi bank memberikan kuasa pembelian barang kepada nasabah untuk membeli barang yang dibutuhkannya. Jika demikian, akad jual beli (murabahah) harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

  • Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual sebesar harga beli plus margin/keuntungannya. Nasabah harus membelinya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat. Kemudian, kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

  • Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad/perjanjian tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah

  • Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.


Dalam jual beli tersebut bank dibolehkan meminta nasabah untuk menyediakan jaminan dan atau membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini untuk menghindari cedera janji dari nasabah.


Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. Apabila nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.


Nasabah dapat menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, dan tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.


Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pembelian dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon. Diskon adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah akad murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.


Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan bank syariah


Rukun murabahah:

1. Pihak yang berakad:

a. Penjual

b. Pembeli

2. Objek yang diakadkan:

a. Barang yang diperjualbelikan

b. Harga

3. Akad/sighot:

a. Serah (ijab)

b. Terima (qabul)


Syarat-syarat murabahah:

  1. Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.

  2. Kontrak pertama harus sah.

  3. Kontrak harus bebas dari riba.

  4. Bank Islam harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah pembelian dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat.

  5. Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.

  6. Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan:

  1. melanjutkan pembelian seperti apa adanya.

  2. kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.

  3. membatalkan kontrak.



Fatwa DSN tentang Murabahah


  • Fatwa 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah

  • Fatwa 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah

  • Fatwa 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah

  • Fatwa 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda Pembayaran

  • Fatwa 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan dalam Murabahah

  • Fatwa 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah

  • Fatwa 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tak Mampu Bayar

  • Fatwa 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah

  • Fatwa 49/DSN/MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah



3. JUAL BELI SALAM

Pengertian Salam

Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.


Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.



Landasan Syariah Salam


Al-Qur'an

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (Al-Baqarah 2: 282).


Al-Hadits

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata, "Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui."


Operasional Salam

Syarat utama salam adalah barang atau hasil produksi yang akan diserahkan kemudian tersebut dapat ditentukan spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Apabila ternyata nantinya barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan di awal maka nasabah harus bertanggung jawab dengan cara menyediakan barang sejenis yang sesuai dengan spesifikasi atau mengembalikan seluruh uang yang telah diterima.

Contohnya petani tembakau membutuhkan uang saat ini sedangkan panen belum tiba, maka petani tersebut dapat meminta kepada Bank Syariah untuk membeli hasil panen yang akan datang dan bank akan menjualnya kembali kepada petani tersebut dengan cicilan yang disepakati dalam jangka waktu tertentu. Tentunya Bank Syariah akan menerapkan persentase keuntungan tertentu sesuai kesepakatan.

Contoh lainnya, petani tembakau ingin menjual hasil panennya 2 bulan mendatang kepada pedagang. Dalam hal ini katakan pedagang belum memiliki uang. Maka kedua pihak tersebut dapat pergi ke Bank Syariah dan mengajukan pembiayaan salam. Bank Syariah akan memberikan uang tunai kepada petani tembakau dan pedagang tersebut memiliki utang kepada Bank Syariah dan sesuai dengan kesepakatan akan dicicil dan dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Bank akan menambahkan sejumlah persentase keuntungan yang disepakati.


Rukun salam:

  • Muslam atau pembeli

  • Muslam ilaih atau penjual

  • Ra’sul mal atau modal/uang

  • Muslam fiihi atau barang

  • Sighat atau ucapan/akad


Syarat salam:

Modal

1) Modal harus diketahui

  • Barang harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya.

  • Hukum awal mengenai pembayaran harus dalam bentuk uang tunai.

2) Penerimaan pembayaran salam

  • Pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak (kebanyakan ulama).

  • Pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual).


Ketentuan umum salam:

  • Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas "A" dengan harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.

  • Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.

  • Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.


Salam paralel:

Karena yang dibeli oleh Bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai, dan Bank tidak berniat untuk menjadikannya sebagai inventory, dilakukanlah akad salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Inilah yang dikenal sebagai Salam Paralel


Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:

  • Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan

  • Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.


Fatwa DSN tentang Salam

  • Fatwa 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam

4. JUAL BELI ISTISHNA’

Pengertian Istishna’

Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank syariah dalam beberapa kali (termin) pembayaran dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.


Landasan Syariah Istishna’

Karena istishna’ merupakan jenis khusus dari salam, maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada salam juga berlaku pada istishna’


Mazhab Hanafi menyetujui kontrak istishna’ atas dasar istihsan karena alasan berikut:

  • Masyarakat telah mempraktikkan istishna’ secara luas tanpa ada keberatan

  • Dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama

  • Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat

  • Sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah


Hal ini menjadikan istishna’ sebagai kasus ijma atau konsensus secara umum.


Operasional Istishna’


Syarat utama istishna’ adalah sama dengan pembiayaan salam yakni spesifikasi barang dapat ditentukan dengan jelas. Umumnya pembiayaan istishna’ dilakukan untuk membiayai pembangunan konstruksi.

Contoh, Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai dikerjakan.

Melalui fasilitas istishna’ bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.

Setelah barang selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu saja bank tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan proses pemberian fasilitas istishna' tersebut, bank juga telah mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pembeli itu menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna' paralel atau istishna' wal murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi istishna' wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli (istishna') dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah).


Rukun istishna’:

  • Mustashni’ (Pembeli)

  • Shani’ (Penjual)

  • Mashnu’ (Barang)

  • Tsaman (Harga)

  • Shighat (Ijab Kabul)


Syarat istishna’:

  • Kedua belah pihak yang bertransaksi berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli

  • Ridha/kerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji.

  • Shani’ menyatakan kesanggupan untuk membuat barang

  • Apabila bahan baku berasal dari mushtasni’, maka akad ini bukan lagi Istishna’,tetapi berubah menjadi Ijarah

  • Apabila isi akad mensyaratkan shani’ hanya bekerja saja, maka akad ini juga bukan lagi Istishna’, tetapi berubah menjadi Ijarah

  • Mashnu’ (barang yang dipesan) mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran (tipe), mutu dan jumlahnya.

  • Barang yang dipesan tidak termasuk kategori yang dilarang syara’ (najis, haram/tidak jelas) atau menimbulkan kemudharatan (menimbulkan maksiat)


Ketentuan umum istishna’:

  • Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.




Istishna’ paralel:

Dalam sebuah kontrak istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat barang menggunakan subkontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel


Fatwa DSN tentang Istishna’

  • Fatwa 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’

  • Fatwa 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna' Paralel


5. JUAL BELI SHARF

Pengertian Sharf

Sharf adalah jual beli mata uang. Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.


Landasan Syariah Sharf

Al-Qur'an

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah 2:275).


Al-Hadits

(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim)


Ijma’Ulama yang menyepakati bahwa akad sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu.


Operasional Sharf

Syarat Sharf:

  • Pertukaran harus dilakukan secara tunai (spot), untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaian paling lambat dalam jangka waktu dua hari.

  • Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi perdagangan barang dan jasa antarbangsa, bukan dalam rangka spekulasi.

  • Bukan jual beli bersyarat. Misalnya, A setuju membeli barang dari B hari ini dengan syarat B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.

  • Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan

  • Tidak menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak kepemilikan


Sharf yang dilarang:

  • Perdagangan tanpa penyerahan (future non-delivery trading) atau margin trading

  • Jual beli valas bukan transaksi komersial (arbitrage), baik spot maupun forward

  • Melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (oversold)

  • Melakukan transaksi swap



Fatwa DSN tentang Sharf


  • Fatwa 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)

6. REFERENSI

  • Antonio, Muhammad Syafi’i (2001), Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani, Jakarta

  • Suhendi, Hendi (2002), Fiqh Muamalah, RajaGrafindo Persada, Jakarta

  • Badilag (2005), http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=90&Itemid=100

  • JIC (2006), http://jic.jakarta.go.id/index.php?menu=showarticle.php&id=32

  • Pikiran Rakyat (2005), http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/21/hikmah/manajemen.htm Vbaitullah (2006), http://blog.vbaitullah.or.id/2006/11/19/816-jual-beli-kredit-25/

  • Vibiznews (2007), http://www.vibiznews.com/1new/articles_financial.php?id=24&page=syariah

Oleh:

M. Denny Jandiar

0 komentar:

Posting Komentar

An Inspiration © 2009. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute